Oleh : Muhammad Fatahillah
(Kader IMM Jawa Tengah)
(Anggota MPKSDI PDM Kota Surakarta 2022-2027)
Pada Jumat, 16 Mei 2025 lalu, sebuah forum yang mengatasnamakan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) dan turut mengundang Beberapa OKP Surakarta yang diselenggarakan di Balai Muhammadiyah Surakarta. Sebagai kader yang mengikuti dinamika kepemudaan dan gerakan civil society di Surakarta, saya melihat bahwa forum ini tidak sepenuhnya merepresentasikan AMM secara utuh. Justru yang tampak adalah keterlibatan beberapa organisasi otonom Muhammadiyah — seperti IPM, Nasyiatul Aisyiyah, dan Pemuda Muhammadiyah — dalam memberikan dukungan kepada seorang calon yang, meskipun pernah bersinggungan dengan Muhammadiyah, tidak menjalani proses kaderisasi secara mendalam dan berkesinambungan.
Figur yang diusung memang pernah aktif di lingkungan Muhammadiyah. Namun, jika kita berbicara tentang kaderisasi dalam pengertian yang utuh, tentu tidak cukup hanya hadir dalam beberapa kegiatan atau mengikuti satu-dua rangkaian kegiatan. Kaderisasi dalam Muhammadiyah, apalagi yang menyasar lapis kepemimpinan, membutuhkan proses pembinaan, penempaan ideologis, dan keterlibatan yang konsisten. Tanpa itu, yang terjadi hanyalah pengakuan simbolik — atau dalam istilah kekinian, “Muhammadiyah Dadakan” (MUDA).
IMM, dalam hal ini, menunjukkan sikap yang patut dihargai. Mereka tidak serta-merta mengikuti arus dukungan dari ortom lain, justru mengambil posisi kritis atas dasar konsistensi ideologis. IMM memandang bahwa proses politik, apalagi yang mengatasnamakan Muhammadiyah, seharusnya berangkat dari semangat pembinaan kader yang jelas, bukan sekadar mendukung figur populer atau memiliki jaringan politik luar.
Kekhawatiran IMM bukan tanpa alasan. Dukungan terhadap figur eksternal yang tidak jelas akar ideologisnya dalam Muhammadiyah berisiko membuka ruang penyalahgunaan identitas. Label "kader Muhammadiyah" bisa saja digunakan untuk kepentingan politis, bahkan ketika yang bersangkutan tidak memiliki komitmen terhadap nilai-nilai gerakan. Dalam jangka panjang, ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap soliditas internal Muhammadiyah dan nilai-nilai yang diperjuangkannya.
Forum yang diselenggarakan pada 16 Mei itu, secara tidak langsung, juga menciptakan preseden buruk: bahwa nama besar Muhammadiyah bisa dikomodifikasi untuk kepentingan jangka pendek. Padahal, Muhammadiyah memiliki barisan kader yang telah lama ditempa dalam berbagai jenjang organisasi, mulai dari IPM, Tapak Suci, HW, IMM, Pemuda Muhammadiyah, hingga ortom-ortom profesi. Keputusan ini seakan mencederai kehebatan Muhammadiyah dalam membina kader-kader tebaik.
Yang juga patut digarisbawahi adalah posisi IMM dalam menjaga marwah gerakan. IMM bukanlah organisasi yang anti-politik. Justru sebaliknya, IMM sangat sadar akan pentingnya keterlibatan kader dalam ruang publik, termasuk dalam kontestasi politik. Namun keterlibatan itu harus lahir dari proses kaderisasi yang matang dan membawa semangat dakwah serta perubahan sosial, bukan sekadar ambisi kekuasaan.
Ketegasan IMM dalam menolak keterlibatan dalam forum yang dianggap tidak sehat secara etis dan ideologis patut diapresiasi. Di tengah derasnya arus pragmatisme politik, sikap seperti ini menunjukkan bahwa masih ada kekuatan moral dalam tubuh gerakan pemuda yang tidak rela rumah besar Muhammadiyah dijadikan kendaraan politik praktis.
Dalam konteks ini, saya kira penting bagi semua pihak, terutama yang mengatasnamakan AMM, untuk kembali merefleksikan arah gerakan. Apakah kita masih berpegang pada semangat pembinaan kader dan nilai-nilai dakwah, atau sudah mulai tergelincir ke dalam politik transaksional? Apakah forum-forum yang digelar benar-benar untuk kemaslahatan bersama, atau hanya menjadi panggung dukungan bagi kepentingan tertentu?
Akhirnya, saya ingin mengingatkan bahwa Muhammadiyah dan ortom-ortomnya memiliki tanggung jawab moral dan historis dalam mencetak generasi pemimpin yang jujur, cakap, dan berintegritas. Jika kepercayaan terhadap proses kaderisasi internal mulai hilang, dan kita mulai mencari figur dari luar tanpa melalui jalan kaderisasi yang sah, maka sesungguhnya kita sedang mengalami krisis identitas dan kehilangan arah. Dan jika itu terjadi, maka yang dirugikan bukan hanya IMM atau Muhammadiyah — tetapi generasi muda Islam secara keseluruhan.








Tidak ada komentar:
Posting Komentar