Surat Al-Ma’un kembali menemukan relevansinya di tengah krisis sosial-ekonomi global yang kian menajam. Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Wakil Ketua PWM Jawa Tengah sekaligus Rektor UIN Salatiga, menegaskan bahwa spirit Al-Ma’un merupakan manifesto anti-ketimpangan yang tidak hanya menyoroti aspek ibadah ritual, tetapi juga menekankan tanggung jawab sosial untuk menghapuskan kemiskinan, kefakiran, dan marjinalisasi.
Menurutnya, globalisasi ala neoliberalisme yang selama ini diagung-agungkan, ternyata justru memproduksi jurang sosial baru. “Model neoliberal hanya melipatgandakan pemiskinan dan memapankan oligarki,” ujar Zakiyuddin dalam kajiannya.
Kritik terhadap Oligarki dan Ekonomi Kapitalistik
Zakiyuddin menggambarkan oligarki kontemporer dengan metafora tokoh-tokoh klasik: Fir’aun sebagai simbol penguasa politik korup, Qarun melambangkan kapitalis tamak, Haman sebagai teknokrat pengabdi oligarki, dan Samiri yang mewakili agamawan oportunis pro status quo. Kolaborasi mereka, menurutnya, telah melahirkan agama kapital dengan rukun iman baru: liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi.
“Al-Ma’un menolak keras agama yang direduksi menjadi sekadar spiritual laundry tanpa keberpihakan sosial,” tegasnya.
Tiga Nilai Utama Al-Ma’un
Prof. Zakiyuddin menekankan tiga nilai fundamental yang terkandung dalam surat pendek ini:
-
Kritik atas ketidakadilan struktural – terutama dalam akses produksi dan distribusi (QS. Al-Ma’un: 1-2).
-
Kedermawanan sosial – berbagi sejak awal proses produksi, bukan sekadar surplus (QS. Al-Ma’un: 3-7).
-
Keotentikan spiritual – keseimbangan dunia-akhirat, menjauhkan riya dan formalitas ibadah tanpa kepedulian sosial (QS. Al-Ma’un: 4-6).
“Surat ini mengingatkan kita bahwa keberagamaan yang sejati adalah keberagamaan yang membela yatim, miskin, dan mustadh’afin,” ujarnya.
Agenda Reformasi Ekonomi dan Sosial
Zakiyuddin menilai sistem ekonomi Indonesia masih terjebak pada model warisan kolonial Belanda, dengan koperasi yang lebih berorientasi pada aset ketimbang kebutuhan anggota. Ia mengusulkan reformasi regulasi ekonomi nasional sesuai amanah Pasal 33 UUD 1945, termasuk perbaikan undang-undang koperasi, pajak, hingga pembentukan ekosistem bisnis yang mengintegrasikan UMKM, koperasi, dan sektor formal.
“Ekonomi Pancasila harus kembali dimaknai sebagai ekonomi pro-rakyat, bukan sekadar jargon,” katanya.
Muhammadiyah dan Agenda Mustadh’afin
Bagi Muhammadiyah, spirit Al-Ma’un adalah napas gerakan sejak K.H. Ahmad Dahlan. Zakiyuddin menekankan bahwa agenda ke depan ialah memperkuat ekosistem UMKM dengan wajah ganda: sosial sebagai legitimasi moral, dan bisnis sebagai keberlanjutan finansial.
“Gerakan Al-Ma’un bukan sekadar filantropi, melainkan transformasi struktural. Muhammadiyah harus menjadi garda depan perjuangan pro mustadh’afin,” tutupnya.







Tidak ada komentar:
Posting Komentar